Minggu, 22 Desember 2013

Penggeledahan di Sistem Peradilan AS yang Membuat India Marah

Kasus penahanan diplomat India, Devyani Khobragade, yang dilakukan polisi khusus AS pada Kamis, 12 Desember lalu, telah memicu kemarahan publik di negara asalnya. Pasalnya, Khobragade tidak sekadar ditahan, namun dia ikut digeledah.

Di mata publik India, aksi tersebut sangat memalukan dan tidak diperlukan. Kantor berita Reuters, Kamis 19 Desember 2013 melansir aksi tersebut justru merupakan hal yang umum berlaku di sistem peradilan AS. Sistem tersebut juga berlaku bagi terdakwa yang berasal dari golongan masyarakat elit.

Penggeledahan bahkan telah menjadi pemandangan rutin yang dilakukan petugas lembaga pemasyarakatan kepada setiap napi baru di Negeri Paman Sam. Mereka juga harus bersedia digeledah setiap kali meninggalkan fasilitas penjara federal untuk menghadiri sidang dengar dan saat kembali ke lapas.

Tahun lalu, Mahkamah Agung mengeluarkan aturan 5-4 yang berisi penggeledahan napi baru dinyatakan sesuai konstitusi yang berlaku di AS. Mereka menganggap, penggeledahan perlu dilakukan, walaupun orang tersebut tidak dicurigai menyembunyikan sesuatu.

Pelaku kejahatan lalu lintas pun tidak luput dari aksi penggeledahan polisi khusus. Apalagi di kota besar seperti New York, yang notabene tingkat pengamanannya lebih ketat, polisi khusus sangat ketat menerapkan aturan penggeledahan.

Menurut seorang juru bicara dari institusi polisi khusus, Nikki Credic-Barrett, aksi penggeledahan juga diberlakukan ketika seorang tersangka ditahan dan dipenjara dalam sel tahanan pengadilan. Bahkan, dalam sebuah aksi penggeledahan yang lebih ekstrem, polisi khusus dapat melakukan inspeksi visual yang memeriksa organ mulut, kemaluan hingga anus atau lazim disebut visual cavity search.

Sementara untuk penggeledahan digital, hanya dapat dilakukan oleh tim medis dan memerlukan surat penahanan. Seorang pejabat senior India, menyebut Khobragade turut menjadi korban visual cavity search. Namun, hal itu buru-buru dibantah oleh Barrett.

Maka tak heran, apabila Jaksa Umum Negara Bagian Manhattan, Preet Bharara menyebut, aksi penggeledahan Khobragade adalah sesuatu yang lazim.

Namun, bukan berarti tidak ada pengecualian. Dalam beberapa kasus tertentu, penahanan terhadap pelaku kejahatan remaja tidak memerlukan penggeledahan. Barrett menyebut tahanan remaja dapat dipisahkan dari napi lainnya.

Sementara dalam kasus Khobragade, Barrett mengaku tidak menerima perintah apa pun dari pihak keamanan Deplu yang melakukan penahanan.

Apabila hal itu dianggap lumrah di AS, sementara aksi penggeledahan, bukan termasuk kegiatan rutin saat menahan penjahat di India. Oleh sebab itu, di mata Direktur Human Rigths Watch (HRW) daerah Asia Selatan, Meenakshi Ganguly, kemarahan publik India dapat dipahami.

Namun, dia mengingatkan supaya publik tidak lupa dengan apa yang terjadi terhadap pramuwisma yang bekerja di kediaman Khobragade, Sangeeta Richard. Berdasarkan permohonan visa yang diajukan kepada Pengadilan Federal di New York, Khobragade menulis bahwa dia berencana membayar pramuwismanya sebesar US$4.500 atau Rp54 juta setiap bulannya.

Namun, berdasarkan pengakuan pramuwisma itu kepada tim penyidik, dia hanya digaji US$573 atau Rp6,9 juta. Artinya, itu menyalahi aturan standar upah mininum di New York yakni sebesar US$7,25 atau Rp89 ribu per jamnya.

Aksi penggeledahan ini juga pernah menjadi bumerang bagi Pemerintah AS sendiri. Pasalnya banyak warga AS yang juga tidak nyaman ketika digeledah. Sebagai bentuk balasannya, mereka pernah mengajukan tuntutan hukum kepada Pemerintah Kota New York.

Hasilnya di tahun 2010 silam, Pemkot New York harus merogoh anggaran mereka sebesar US$33 juta atau Rp403 miliar untuk membayar tuntutan hukum yang diajukan publik.



[Sumber]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar