Rabu, 20 November 2013

Indonesia Harus Audit Teknologi Kedutaan Australia

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Jimly Asshiddiqie menilai, penyadapan Australia kepada Indonesia sebagai dampak perkembangan teknologi yang semakin canggih. Untuk itu, Jimly berharap pemerintah melakukan audit teknologi terhadap kedutaan besar Australia dan Amerika di Jakarta.
"Agar jangan terjadi lagi penyadapan di kemudian hari. Jadi gedung kedutaan Australia itu harus diaudit teknologi, apakah di sana ada alat sadap," kata Jimly di Gedung DPR, Rabu 20 November 2013.

Saat ini, kata Jimly, penyadapan itu diketahui dari data intelijen yang bocor ke publik. Sehingga, pemerintah Australia bisa berkelit.

"Misalnya Obama berkelit dengan mengatakan bahwa dia tidak tahu. Itu statement yang lebih jujur. Tapi Abbott dia politikus, ya tidak sejujur Obama dalam menjaga hubungan antar negara," kata dia.

Tetapi yang lebih penting, kata Jimly, pemerintah Australia dan Amerika bersedia diaudit oleh Indonesia.

Teknologi Lama

Pengamat intelijen Soeripto juga menilai teknologi sangat berperan penting dalam keberhasilan negeri tetangga menyadap pembicaraan pejabat tinggi negara.
Aksi penyadapan, kata dia, sejatinya merupakan peringatan bagi pemerintah RI untuk meningkatkan teknologi keamanan cyber dan peningkatan sumber daya manusia. Sebab, teknologi yang dimiliki Indonesia saat ini masih jauh tertinggal dengan Australia dan Amerika.

"Kalau kita punya teknologi yang lebih canggih daripada Amerika tentu kita bisa melakukan counter tapi kalau kita tidak punya IT yang canggih tetap saja kita jadi korban sadapan," katanya.

Soal sikap keberatan Indonesia terhadap Australia, Soeripto menilai salah alamat. Menurutnya, aksi penyadapan yang dilakukan Australia bersumber dari informasi yang diungkap Edward Snowden, mantan agen National Security Agency di Amerika Serikat.

"Sepengetahuan saya yang memberikan order kepada Australia itu Amerika. Jadi menurut saya salah alamat kalau kita protes, atau minta pertanggungjawab atau minta maaf Australia," kata Soeripto di Gedung KPK.

Oleh karenanya, mantan wakil ketua BAKIN (BIN di era orde baru) itu mengimbau pemerintah RI sebaiknya lebih dulu memberikan peringatan keras kepada pemerintah Amerika Serikat terkait isu penyadapan ini. "Jadi mestinya ke sana (Amerika) alamatnya bukan ke Kedutaan Australia atau pemerintah Australia," ujarnya

Seperti diketahui, Perdana Menteri Australia, Tony Abbott, mengatakan di hadapan Parlemen pada Senin kemarin, 18 November 2013, pemerintahannya tidak akan meminta maaf atas aksi spionase yang telah mereka lakukan kepada Indonesia. Abbott membela diri, bahwa langkah itu dilakukan untuk melindungi Australia saat ini dan di masa lampau, sehingga jauh lebih penting untuk dilakukan ketimbang meminta maaf. 

Laman Guardian, Selasa, 19 November 2013 melansir pernyataan ini dirilis secara resmi oleh Kantor Perdana Menteri ketika sesi tanya jawab berlangsung di Gedung Parlemen kemarin. Pemimpin Partai Liberal itu menyebut tugas utama setiap pemerintah yaitu untuk melindungi negara dan mengedepankan kepentingan nasionalnya. 

"Oleh sebab itu, setiap pemerintah mengumpulkan informasi dan mereka pun tahu bahwa Pemerintahan negara lainnya pun turut melakukan hal serupa," ujar Abbott. 

Dia menyebut tidak ada tanggung jawab yang lebih besar sebagai seorang PM selain harus memastikan keselamatan setiap warga Negeri Kanguru. "Itu sebabnya kami mengumpulkan informasi intelijen," kata Abbott.


[Sumber]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar