Selasa, 19 November 2013

Jargon SBY "Thousand Friends Zero Enemy" Dinilai Utopis

Ketua DPP Bidang Pertahanan dan Hubungan Internasional PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira menilai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terlalu naif dalam menanggapi kasus penyadapan yang dilakukan Dinas Intelijen Australia.

Menurut Andreas, dalam keterangan pers, Rabu 20 November 2013, seharusnya pemerintah bersikap preventif dan tidak utopis melihat hubungan antar negara.

"Jangan ada anggapan, apabila sudah menjadi negara sahabat, maka seolah-olah operasi intelijen termasuk tindakan sadap-menyadap tidak ada lagi. Kalau beranggapan demikian, Pemerintah RI dan Menlu RI terlalu naif," katanya.

Anggapan seperti itu, kata Andreas, adalah akibat dari jargon politik luar negeri SBY yakni, thousand friends zero enemy (ribuan teman tanpa musuh), yang sesungguhnya naif utopis. "Padahal jargon demikian tinggal jargon, praktiknya berbeda sama sekali."

Mendukung sikap SBY terhadap penyadapan Australia kepada Indonesia, kata dia, sama saja mendukung kebodohan Pemerintahan SBY. Menurutnya, sikap demikian adalah nasionalis utopis yang membela kenaifan SBY.

"Seharusnya, Pemerintah SBY lebih realistis dan menyadari, karakter hubungan internasional secara universal memang lebih realis ketimbang idealis-utopis," kata doktor ilmu politik internasional dari Universitas Giessen, Jerman.

Politik luar negeri dan politik pertahanan-keamanan memang seharusnya mengedepankan prinsip realisme politik berbasis kepentingan nasional yaitu, suatu negara melakukan apa pun demi membela kepentingan nasional. Ini prinsip yang tak bisa ditawar.

"Realisme berbasis kepentingan nasional dipraktikkan semua negara dengan pemimpin rasional. Dari dulu sampai sekarang tetap demikian dan tidak akan pernah berubah," katanya.

Kasus penyadapan ini, menurutnya, menyadarkan pemerintahan SBY dan jajaran diplomasinya untuk lebih realistis terhadap hubungan internasional modern, ketimbang mengedepankan politik luar negeri thousand friend zero enemy yang lips service belaka.

Andreas mencontohkan, belum lama ini terbongkar, NSA Amerika menyadap pembicaraan 35 kepala negara di dunia. Nomor kepala negara diketahui, setelah terlebih dahulu menyadap pejabat di bawahnya.

Itulah yang dibongkar Edward Snowden, yang kini mendapat suaka di Rusia. Laporan Snowden menyebutkan, NSA memantau 200 nomor, 35 di antaranya adalah milik kepala negara. Negara-negara sahabat Amerika ribut, termasuk Jerman.

Kanselir Jerman Angelina Merkel, marah, karena nomornya ada dalam daftar yang disadap NSA. Kendati Sekretaris Pers Gedung Putih membantah, Amerika tidak memantau dan tidak akan memonitor komunikasi Kanselir Jerman, tidak meredakan kemarahan Jerman.

Bukan hanya ribut soal penyadapan antara Amerika dan Negara-negara Uni Eropa, antara Amerikat Serikat dan Israel, masih terjadi saling sadap. Amerika pernah mengeluhkan praktik Mossad (Dinas Rahasia Israel) yang malah beroperasi di wilayah Amerika.

"Amerika Serikat pernah marah besar kepada Israel, karena peristiwa bom yang menewaskan 299 marinir Israel di Libanon (23 Oktober 1983), sebetulnya sudah dicurigai Mossad akan ada tindakan teror, tapi tidak dilaporkan kepada Amerika," tuturnya.

"Maka jelas, SBY sungguh naif dalam merespon praktik intelijen di Indonesia. Lebih berguna memikirkan pencegahan ketimbang komentar tak berguna," katanya lagi.

Presiden SBY terang-terangan menyatakan, Australia menjadi penyebab rusaknya hubungan antara negara itu dengan Indonesia. "Tindakan (penyadapan oleh) Amerika Serikat dan Australia jelas telah merusak kemitraan strategis dengan Indonesia sebagai sesama negara penganut sistem demokrasi," kata SBY.

Presiden RI itu juga menyesalkan pernyataan Perdana Menteri Australia Tony Abbott yang terkesan meremehkan isu penyadapan terhadap Indonesia tanpa menunjukkan rasa penyesalan. Padahal sejak kabar penyadapan oleh AS dan Australia itu muncul, Indonesia telah menyatakan protes keras.

Oleh sebab itu, kata SBY, pemerintah dan Kementerian Luar Negeri RI mengambil langkah diplomatik dengan menarik duta besarnya dari Australia.

Dubes RI dipanggil pulang ke Indonesia sembari pemerintah RI menuntut klarifikasi dari Australia dan Amerika Serikat. "Indonesia menuntut Australia memberikan jawaban resmi yang dapat dipahami publik terkait isu penyadapan terhadap Indonesia," kata SBY.

Indonesia juga akan meninjau ulang sejumlah agenda kerjasama bilateral dengan Australia sebagai konsekuensi atas tindakan menyakitkan yang dilakukan oleh Australia.


[Sumber]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar