Kasus
penahanan diplomat India, Devyani Khobragade, yang dilakukan polisi
khusus AS pada Kamis, 12 Desember lalu, telah memicu kemarahan publik di
negara asalnya. Pasalnya, Khobragade tidak sekadar ditahan, namun dia
ikut digeledah.
Di mata publik India, aksi tersebut sangat memalukan dan tidak diperlukan. Kantor berita Reuters,
Kamis 19 Desember 2013 melansir aksi tersebut justru merupakan hal yang
umum berlaku di sistem peradilan AS. Sistem tersebut juga berlaku bagi
terdakwa yang berasal dari golongan masyarakat elit.
Penggeledahan
bahkan telah menjadi pemandangan rutin yang dilakukan petugas lembaga
pemasyarakatan kepada setiap napi baru di Negeri Paman Sam. Mereka juga
harus bersedia digeledah setiap kali meninggalkan fasilitas penjara
federal untuk menghadiri sidang dengar dan saat kembali ke lapas.
Tahun
lalu, Mahkamah Agung mengeluarkan aturan 5-4 yang berisi penggeledahan
napi baru dinyatakan sesuai konstitusi yang berlaku di AS. Mereka
menganggap, penggeledahan perlu dilakukan, walaupun orang tersebut tidak
dicurigai menyembunyikan sesuatu.
Pelaku kejahatan lalu lintas
pun tidak luput dari aksi penggeledahan polisi khusus. Apalagi di kota
besar seperti New York, yang notabene tingkat pengamanannya lebih ketat,
polisi khusus sangat ketat menerapkan aturan penggeledahan.
Menurut
seorang juru bicara dari institusi polisi khusus, Nikki Credic-Barrett,
aksi penggeledahan juga diberlakukan ketika seorang tersangka ditahan
dan dipenjara dalam sel tahanan pengadilan. Bahkan, dalam sebuah aksi
penggeledahan yang lebih ekstrem, polisi khusus dapat melakukan inspeksi
visual yang memeriksa organ mulut, kemaluan hingga anus atau lazim
disebut visual cavity search.
Sementara untuk
penggeledahan digital, hanya dapat dilakukan oleh tim medis dan
memerlukan surat penahanan. Seorang pejabat senior India, menyebut
Khobragade turut menjadi korban visual cavity search. Namun, hal itu buru-buru dibantah oleh Barrett.
Maka
tak heran, apabila Jaksa Umum Negara Bagian Manhattan, Preet Bharara
menyebut, aksi penggeledahan Khobragade adalah sesuatu yang lazim.
Namun,
bukan berarti tidak ada pengecualian. Dalam beberapa kasus tertentu,
penahanan terhadap pelaku kejahatan remaja tidak memerlukan
penggeledahan. Barrett menyebut tahanan remaja dapat dipisahkan dari
napi lainnya.
Sementara dalam kasus Khobragade, Barrett mengaku
tidak menerima perintah apa pun dari pihak keamanan Deplu yang melakukan
penahanan.
Apabila hal itu dianggap lumrah di AS, sementara aksi
penggeledahan, bukan termasuk kegiatan rutin saat menahan penjahat di
India. Oleh sebab itu, di mata Direktur Human Rigths Watch (HRW) daerah
Asia Selatan, Meenakshi Ganguly, kemarahan publik India dapat dipahami.
Namun,
dia mengingatkan supaya publik tidak lupa dengan apa yang terjadi
terhadap pramuwisma yang bekerja di kediaman Khobragade, Sangeeta
Richard. Berdasarkan permohonan visa yang diajukan kepada Pengadilan
Federal di New York, Khobragade menulis bahwa dia berencana membayar
pramuwismanya sebesar US$4.500 atau Rp54 juta setiap bulannya.
Namun,
berdasarkan pengakuan pramuwisma itu kepada tim penyidik, dia hanya
digaji US$573 atau Rp6,9 juta. Artinya, itu menyalahi aturan standar
upah mininum di New York yakni sebesar US$7,25 atau Rp89 ribu per
jamnya.
Aksi penggeledahan ini juga pernah menjadi bumerang bagi
Pemerintah AS sendiri. Pasalnya banyak warga AS yang juga tidak nyaman
ketika digeledah. Sebagai bentuk balasannya, mereka pernah mengajukan
tuntutan hukum kepada Pemerintah Kota New York.
Hasilnya di
tahun 2010 silam, Pemkot New York harus merogoh anggaran mereka sebesar
US$33 juta atau Rp403 miliar untuk membayar tuntutan hukum yang diajukan
publik.
[Sumber]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar