Sebagian besar publik Israel geram ketika harian Norwegia, Dagen,
memberitakan putra Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Yair, menjalin
hubungan dengan wanita non Yahudi asal Norwegia, Sandra Leikanger.
Sebab, warga Israel khawatir apabila hubungan tersebut berakhir dengan
pernikahan, maka dapat mengancam populasi kaum Yahudi di sana.
Dilansir dari kantor berita BBC,
Jumat 7 Februari 2014, sang ayah, Benjamin menepis pemberitaan itu dan
mengatakan bahwa keduanya merupakan teman kuliah. Tetapi, publik sudah
kadung percaya dan kesal.
Saking kesalnya, salah satu organisasi
Israel, Lehava, mengirimkan sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada
Yair Netanyahu dan diunggah di akun Facebook. Dalam surat itu tertulis,
apabila isi pemberitaan media Norwegia tersebut benar, maka Yair
dianggap telah mengkhianati makam-makam keluarganya.
"Mereka tidak bermimpi cucunya akan terlahir dari kaum non Yahudi," tulis Lehava dalam surat tersebut.
Pada
akhir pekan kemarin, sebuah program televisi Israel satir populer,
Eretz Nehederet, bahkan menayangkan sebuah parodi yang diambil dari
sejarah orang-orang Yahudi yang dikenal penindas, seperti Firaun dan
penyidik Spanyol. Parodi tersebut kemudian ditutup dengan sindiran bagi
kekasih Yair, yang mereka sebut sebagai "ancaman keberadaan terbaru".
Salah
satu pemeran parodi bahkan ikut menyanyikan lagi mengenai Shikse,
sebuah istilah untuk menyebut perempuan non Yahudi, yang secara
sarkastik bermakna dia lebih buruk dari Adolf Hitler.
Kakak Ipar
Benjamin, Hagai Ben-Artzi, bahkan turut angkat bicara dan menolak keras
hubungan keponakannya. Hagai memperingatkan apabila hubungan tersebut
tidak segera diakhiri maka itu sama saja dengan meludahi makam kakeknya
sendiri.
"Ini merupakan hal paling mengerikan yang mengancam
sejarah kaum Yahudi. Menikahi kaum kafir, bahkan lebih mengerikan
ketimbang meninggalkan Israel. Apabila hal ini benar terjadi, maka saya
sendiri tidak tahu di mana jasad saya akan dikubur kelak," kata Hagai.
Bagi
warga Yahudi yang hidup di luar Israel, pernikahan campur merupakan hal
yang lumrah terjadi dan angkanya mencapai lebih dari 50 persen.
Sementara di dalam Israel sendiri yang notabene warga Yahudi mencapai 75
persen dan kaum Arab 21 persen, justru malah jarang menikah.
Kemungkinan
pernikahan campur di dalam negeri justru semakin besar, tatkala banyak
pekerja asing yang kini masuk ke dalam Israel dan menyebarnya komunitas
Israel di berbagai belahan dunia.
Kemarahan warga Yahudi Israel
terhadap fenomena ini karena adanya kemungkinan anak yang dilahirkan
dari pernikahan tersebut tidak lagi mewarisi tradisi Yahudi. Hal itu
menyebabkan mereka khawatir bahwa bangsa yang selamat dari aksi
pembantaian Holocaust, pada akhirnya akan punah.
Menurut seorang
penulis dan ahli komentator mengenai Israel dan Yudaisme, Daniel Gordis,
ada dua hal yang menyebabkan pernikahan campur tidak disukai kaum
Yahudi.
"Satu, karena itu dilarang di dalam Halacha, atau hukum
Yahudi. Hal lainnya karena kaum Yahudi telah melihat, bahwa satu-satunya
cara untuk mewariskan identitas asli Yahudi kepada anaknya yakni
melalui mereka ke anak-anak yang dibesarkan oleh dua orang tua yang
memiliki latar belakang Yahudi," ucap Gordis.
Anak yang
dibesarkan oleh satu orang tua yang berlatar belakang Yahudi, lanjut
dia, lebih rentan dan identitas Yahudinya bahkan lebih tipis
dibandingkan orang tuanya.
"Memang dari jumlah statistik,
semakin banyak orang yang menikahi kaum non Yahudi. Tetapi sangat tidak
mungkin mengasuh seorang anak dengan keyakinan Yahudi yang sama seperti
kaum sebelumnya, jika dia dibesarkan oleh seseorang yang tidak memiliki
latar belakang serupa," kata Gordis.
Hal paling nyata dari
kesimpulannya itu, ujar Gordis, bisa dilihat secara langsung kehidupan
Yahudi di Amerika Serikat. Ada penurunan komitmen yang besar dan
identitas yang semakin tipis sejak mereka tinggal di luar Israel.
Kepala
Institut Shalom Hartman, Donniel Hartman, mengatakan, karena itu lah,
warga Israel ketakutan. Karena pernikahan campur di sana jarang terjadi,
maka ketika ada warga Israel yang menikahi kaum non Yahudi, mereka
memandangnya sama seperti orang tersebut telah meninggalkan Yudaisme.
Namun,
Hartman tidak sepenuhnya setuju dengan pola pikir demikian. Melihat
fenomena seperti ini, kaum Yahudi harus berani menghadapi tantangan.
Menurut dia, permasalahan utama bukan bagaimana cara menghentikan pernikahan campur.
"Tetapi bagaimana cara untuk menjangkau pasangan non Yahudi dan menyambut mereka ke dalam komunitas kita," kata dia.
Hartman
mengatakan cara mereka menjangkau kaum non Yahudi harus lebih baik,
supaya identitas Yahudi dapat diwariskan ke generasi berikutnya.
"Hidup
di dunia modern, mengharuskan Anda untuk menjadi lebih gesit. Banyak
hal yang berubah, namun saya tidak tahu apakah itu menjadi lebih buruk
atau baik. Itu semua tetap bergantung kepada apa yang kita lakukan,"
ujarnya.
[Sumber]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar