Meski belum terbukti ada operator telekomunikasi Indonesia yang bekerja
sama melakukan penyadapan, namun Kementerian Komunikasi dan Informatika
sudah memberikan warning bila terbukti akan dikenai sanksi pidana sesuai
dengan UU Telekomunikasi dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE).
Menurut Kepala Pusat Informasi dan Humas Kominfo Gatot S.
Dewa Broto, dalam batas-batas dan tujuan tertentu, penyadapan dapat
dimungkinkan tetapi itupun berat pesyaratannya dan harus izin aparat
penegak hukum, sebagaimana disebutkan pada Pasal 42 UU Telekomunikasi.
"Dalam
pasal tersebut disebutkan operator wajib merahasiakan informasi yang
dikirim atau diterima pelanggan. Untuk keperluan peradilan pidana,
operator dapat merekam informasi yang dikirim atau diterima serta dapat
memberikan informasi yang diperlukan atas permintaan Jaksa Agung atau
Kapolri, dan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan UU yang
berlaku" katanya, Senin (18/11).
Demikian pula kemungkinan
penyadapan yang dibolehkan dengan syarat yang berat pula yang diatur
dalam Pasal 31 UU ITE, bahwa kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) , intersepsi yang dilakukan dalam rangka
penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejasaan, dan atau institusi
penegak hukum lainnya yang dilakukan berdasarkan undang-undang.
Ancaman
pidana terhadap kegiatan penyadapan adalah sebagaimana diatur dalam
Pasal 56 UU Telekomunikasi yaitu penjara maksimal 15 tahun penjara dan
Pasal 47 UU ITE yaitu penjara maksimal 10 tahun penjara dan atau denda
paling banyak Rp 800 juta.
Gatot menegaskan Kominfo tidak pernah
memberikan sertifikasi perangkat sadap terkecuali yang digunakan oleh
lembaga penegak hukum yang disebutkan pada Pasal 40 UU Telekomunikasi
dan Pasal 31 UU ITE.
"Demikian pula anti sadap pun juga illegal,
karena Kementerian Kominfo tidak pernah mengeluarkan sertifikat untuk
perangkat (baik hard ware maupun software) anti sadap," ujarnya.
[Sumber]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar