Seorang mantan hacker berhasil dihubungi merdeka.com,
mengeluhkan seputar dunia hacking saat ini yang kebanyakan bermotif
ingin mencari popularitas dan eksistensi dengan hanya mengandalkan tools
saja.
"Itu bukan hacker tapi lamer, obsesinya nama jadi tenar,
diakui sebagai kampiun, masuk media dan dipuja puji karena dianggap
heroik, kalau ketangkap langsung berharap bisa direkrut atau dikasih
beasiswa karena dianggap potensial," ujarnya kepada merdeka.com, Rabu (13/11).
Hacker
zaman dulu, tambahnya, sangat jarang yang memiliki motif popularitas.
Zaman dulu belum dikenal pentest. Hacker meng-hack sistem sendiri untuk
menemukan vulnerability, mengenali kelemahannya dan berusaha terus
memperbaiki dan memproteksinya.
"Bukan mengganggu, merusak sistem orang lain atau membantu teman-teman untuk menguji sistem yang mereka urusi," tuturnya.
Hacker
zaman dulu juga jago menjebol password, mengakses sistem lewat
backdoor, eksploitasi vulnerability, menjatuhkan sistem, menyusup ke
jaringan, merubah dns dan routing, mengakali billing, memodifikasi
program dan teknologi untuk tujuan yang berbeda misalnya WiFi buat
scanning dan sebagainya.
"Tujuannya yang beda kalau kita dulu
hobi, memecahkan masalah, membantu mencari solusi misalnya membangun
jaringan yang terjangkau, bikin dial up leased line, rt/rw net, antena
kaleng bahkan berguna ketika kondisi darurat bencana macam Aceh, Nias,
Yogyakarta, dan lainnya," katanya.
Mendayagunakan sistem usang
sehingga tetap optimal, bikin akses internet yang illegal di depan hukum
negara tapi bukan hasil mencuri atau merusak serta jadi solusi akses di
rural area. Hacker zaman dulu juga getol membuat aplikasi monitoring
serta deteksi dini sendiri.
Kalau motifnya ekonomi, tergantung
profesinya apa, kalau yang umum di sini kebanyakan jual beli barang
tidak resmi atau yang illegal, dan sebagian yang lain menyediakan jasa.
"Ada
juga yang menyewakan rekening atau kurir/penghubung serta jasa politik,
seperti ghost follower twitter, facebook atau generate traffic buat
pencitraan," tuturnya.
Kalau mencuri saldo tabungan orang lain,
memang beberapa waktu yang lalu populer di Malang, yang mana setiap
rekening cukup diambil Rp 100, tapi karena nasabahnya banyak, hasilnya
juga bisa jutaan.
"Sekarang hacker maling duit kurang popular,
kalau sama nasabah bank biasanya sih nipu bukan take over account.
Carder sekarang juga buat sekali pakai aja misalnya buat beli jaringan
botnet," ujarnya.
Yang banyak saat ini, tambahnya, bisnis hal
urusan pilkada, pencitraan, persaingan bisnis bisa puluhan juta tarif
harian sekali proyek, minimal 10 jutaan buat akses halaman depan web
lawan pilkada.
[Sumber]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar